Cerpen Cinta Islami - Cinta Yang tak Pernah Putus
Cinta Yang tak Pernah Putus
Oleh: Vina Izzah Mukminah
Di kehidupan ini Allah menciptakan keindahan yang begitu agung. Iaterlihat dengan nyata. Tanpa kau sadari akan bahagia dengan menatapnya. Dan keagungan yang Allah ciptakan pada hamba-Nya itu berupa cinta yang tak terlihat dengan mata. Namun ia begitu terasa dekat dengan hati. Membuatmu akan melupakan banyak hal yang terjadi disekelilingmu. Cinta adalah anugerah yang misteri
Dalam setiap detiknya aku berfikir tentang kehidupan ini, banyak pula yang tak kupahami tentangnya. Dan diakhirnya aku akan kembali kepada-Nya. Menyerahkan apa yang tak kupahami.
“Lahaula quwata illabillahi...,” desahku. Aku selalu teringat dengan pesan orang tuaku akan ucapan ini. Benar sekali, dengan hatiku yang tak menentu keadaanya, kuharap Allah selalu membimbingku kearah-Nya.
Siang itu, langit begitu mendung. Kuhempaskan tubuhku disofa. Kuhela nafasku beberapa saat. Kupandang langit-langit ruangan yang tergantung lampu hias indah. Pikiranku sedang berkecamuk dengan banyak hal yang tak bisa kumengerti. Mungkin aku membutuhkan sehari untuk mencernanya. Perasaanku tak menentu, kegelisahan terus menghantam perasaan. Tak ingin aku terus menerus dengan keadaan seperti ini. Aku ingin bangkit dengan segera. Tak ingin berlarut-larut dengan keadaan seperti ini.
“Hemmm... apa yang harus kulakukan lebih awal?” Tanyaku pada diriku sendiri.
Masih saja tatapanku tertuju pada area kamarku. Kumainkan tanganku kearah lampu. Melihat bayangannya yang menutup mataku. Beberapa saat aku kembali tersenyum.
“kakak...,” Panggil keempat adikku. Aku menoleh kearah mereka. Menatap kedalam mata mereka yang berbinar kebahagiaan.
“Ya, ada apa...?” jawabku.
“Apa yang sedang kau lakukan, kakak?” Tanya salah satunya.
“Hanya menatap jari yang semakin keriput kulitnya...,” jawabanku sekenanya.
“Waaah..., kakak sudah tua.?” Tanya adikku polos. Aku terdiam.
“Yah mungkin untuk diriku yang berusia 19 tahun, pikirku.”
“Kayaknya kakak habis main air, makanya keriput,” jawabku tak ingin dikatakn keriput, sementara adikku yang paling kecil hanya ber ooo ria.
Kemarin pamanku datang dan siang ini akan kembali ke Jawa Timur. Sebelum kembali aku mendekatinya. Ia bagiku adalah ayah yang keempat dari kelima pamanku. Mereka semua sangatlah menyayangi kami anak saudara mereka, siapapun itu, semua saudara sepupuku. Kami sangatlah bahagia dengan keadaan seperti ini. Dan kami berharap kebahagiaan ini tak kan hilang dengan terusnya perjalanan waktu. Walaupun kami mengerti tak selamanya angin selalu berhembus membelai kami. Atau tak mungkin perjalanan selalu datar. Pasti adakalanya mendaki gunung dan menuruni lembah.
“Paman, kenapa tak esok saja kembali pulang?” rayuku berharap akan menunda keberangkatannya siang ini. Kupandangi wajahnya. Teringat akan suasana rumah dan membawa bayang wajah kedua orang yang paling aku sayangi.
“hehehe... banyak pekerjaan di rumah,Nak!” jawabnya dengan tawa kecilnya.
“Kenapa, Nak?”tanyanya kembali, tangannya mengusap kepalaku.
Aku menggeleng, “Tidak apa-apa, aku hanya seperti kehilangan hari ini saja.”
“Kapan akan liburan?” tanya beliau.
“Insya Allah akhir Desember,” jawabku singkat
“Mau pulang kerumah?”
“Nggak... aku ingin ke Jogja.”
“Kenapa tak pulang? Kan, liburan panjang?”
“Sepertinya aku akan ujian setelahnya, InsyaAllah.”
“Kalau kau bisa kembali, kembalilah anakku, Saat pertemuan kita bersama bahagia, dan disitu tumbuh kekuatan cinta, yang engannya kita akan semakin menyayangi satu sama lain.”
“Aku tak mempunyai apa yang telah mereka harapkan, Paman. Aku belumlah berhasil. Tak mungkin aku bisa kembali,” jawabku.
“Itu bukanlah sebuah kegagalan, anakku. Mereka telah bangga padamu. Kau menjadi anak yang salehah telah membuat mereka bangga.”
Aku tak menanggapi apa yang dikatakan paman. Aku tak mengerti apa yang harus aku katakan. Aku ingin meneteskan air mata. Pelupuk mataku telah digenanginya.
“Sekarang aku akan pulang. Aku tak ingin dengan perpisahan kita akan kehilangan kebahagiaan. Berbahagialah, hindari kesedihan! Karena kesedihan akan membuat kita terpuruk pada kesulitan, kesusahan, kemalasan dan banyak keburukan yang akan kau hadapi.”
“Anggaplah kita tak pernah terpisah. Kau masihlah memiliki yang lebih berharga dari kami, yang suatu saat kami akan tetap pergi juga. Kau tahu? Allah, anakku...! Kau akan lebih bahagia dengan selalu mendekati-Nya. Karena itu tujuan hidupmu. Jangan hilangkan harimu dengna kesedihan dan kemalasan!”
Aku terus mendengarkannya. Aku memahaminya. Memang tiada yang abadi dari kehidupan ini. Pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Pasti. Karena kita akan melalui jalan kita masing-masing.
“Anakku..., yang abadi adalah kecintaan kita pada yang Maha Pencipta. Mencintai apa yang menjadi hak kita, termasuk mencintai kedua orang tua. Kecintaan kita karena Allah memerintahkan pada kita untuk lebih mencintai kedua orang tua. Mereka orang paling utama untuk kau berikan cinta yang lebih dari manusia lainnya.”
“Kami, paman dan bibimu, amatlah menyayangi kalian anak-anakku.”
“dan kau harus tahu, ayahmu sangatlah menyayangimu. Demikin pula ibumu. Tiada perlakuan mereka yang ingin menyakitimu, apalagi membuatmu bersedih dan tertekan. Mereka berdua hanya berharap kebahagiaan dan memberikan yang terbaik; keberhasilan dengan keberkahan didalamnya. Di sana, mereka selalu mendoakanmu agar kau berhasil dan selamat”
“Walaupun dikejauhan sana jarak yang memisahkan diantara kita, cinta mereka tak akan pernah putuh. Karena kau adalah amanah Allah. Cinta mereka terpaut pada ar-Rahman. Tak terlihat. Kasat mata, lebih tipis dari benang... namun kuat, tak akan pernah terputus oleh apapun.”
“Ingatlah anakku akan cinta mereka, dengan mengingat mereka kau akan lebih mencintai Allah, bahkan akan lebih mencintai mereka, karena kebaikan-kebaikan mereka dalam mendidikmu.”
“Aku tahu, selama ini kesibukan ayahmu yang membuatmu menjauh darinya. Namun ciptakan rasa keharmonisan antara kalian. Yah, aku mengetahi kau selalu horamat padanya. Namun tak cukup hanya sampai disitu saja. kau membutuhkan kedekatan hati agar saling memahami. Dan kau akan sempurna dalam membahagiakannya.”
“Kau pasti tahu, hati seorang mukmin akan selalu bahagia saat ia selalu melakukan kebaikan atas perintah-Nya. Lakukan perbuatanmu dengan ikhlas karena-Nya, anakku!”
Beliau kembali teridam. Aku memperhatikannya. Aku kembali teringat dengan kedua orang tuaku yang kurindukan. Hemmm... sudah lama aku tak bersua. Tapi baru kemarin pagi aku menelpon ummi.
“Kembalilah pada mereka, anakku! Mereka merindukanmu. Walaupun hanya sasaat. Itu akan lebih baik bagimu dan bagi mereka berdua. Tunjukanlah dirimu dengan apa yang kau miliki. Tak perlu kau susah dengan apa yang tak ada padamu. Mereka telah bangga padamu, Nak!” kata paman sekali lagi meyakinkanku.
“Aku menyayangimu...!” ujarnya diakhir pertemuan ini. Beliau beranjak dari tempat duduknya dan berlalu dari hadapanku. Sebelum paman pergi, aku dipeluknya dengan kasih sayang, membeli rambutku dengan kelembutan. Dia adalah bagian dari kebahagiaanku.
Aku kembali meneteskan air mata kerinduan. Aku ingat hadits, dari Abu Hurairah r.a, seseroang datang kepada Rasulullah dan bertanya: “Wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling berhak aku temani dengan baik?” Maka beliau menjawab:”Ibumu”. Lalu dia bertanya: “Kemudian siapa?” Beliau menjawab “Ibumu”. Lalu dia bertanya lagi: “Kemudian Siapa?” Beliau menjawab lagi: “Ibumu”. Lalu dia bertanya: “Kemudian siapa?” Lalu beliau menjawab: “Kemudian ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jakarta, Senin 2 Desember 2013
Sumber: Majalah al-Umm edisi 03/Th.II
Post a Comment for "Cerpen Cinta Islami - Cinta Yang tak Pernah Putus"